Jumat, 16 November 2012

sobat bumi


Perubahan iklim yang terjadi diperkirakan memicu berbagai penyakit, di antaranya Inpeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) semakin tinggi kasusnya. 

Kementerian Kesehatan  (Kemkes) dan Badan Meteorologi,Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengimbau masyarakat untuk mewaspadai perubahan iklim tersebut. 

Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Langsung Kemkes dr Subuh,mengatakan,terjadi peningkatan kasus yang terkait perubahan iklim dalam lima tahun terakhir,terutama diare,malaria dan Ispa. Ispa adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung sampai alveoli termasuk aknesanya,seperti sinus,rongga telinga tengah dan pleura. 

Beberapa faktor resiko Ispa antara lain polusi luar ruangan seperti debu,emisi gas,kebakaran hutan dan polusi udara dalam ruangan seperti kayu bakar,asap rokok,kayu bakar. Peningkatan suhu bumi dan kelembaban juga jadi faktor risiko. 

Kemkes mencatat tahun 2007 kasus Ispa baru berjumlah 7,2 juta,lalu meningkat sampai 18,7 atau sekitar (5-6%) dari total penduduk Indonesia di 2011. Jumlah ini belum termasuk pneumonia,yakni infeksi akut yang sudah sampai menyerang paru-paru yang diperkirakan angkanya mencapai 1,8 juta orang. 

Subuh mengatakan, Ispa yang ditandai dengan batuk-batuk adalah penyakit klasik yang terabaikan karena ada setiap hari dan bisa diderita siapapun. Karena kurang disadari,gejala batuk tersebut kemudian berkembang menjadi pneumonia. Parahnya, ketika pasien yang datang berobat penyakitnya sudah pada kondisi lanjut dan sebagian tidak terselamatkan jiwanya. 

“Banyak orang mengabaikan gejala penyakit ini karena dianggap sudah biasa, padahal jika pneumonia tidak cepat terdeteksi bisa menyebabkan kematian,” kata Subuh dalam temu media rutin Kemkes,di Jakarta,Jumat (21/9). 

Subuh menambahkan,yang menjadi tantangan mengatasi penyakit akibat perubahan iklim adalah minimnya data insiden dari daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Juga belum ada kajian atau model prediksi dampak perubahan iklim untuk melihat tren setiap tahunnya. 

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemkes Wilfried Purba,mengungkapkan dampak lain dari perubahan iklim adalah buruknya sanitasi. Kemkes mencatat dampak dari sanitasi buruk menyebabkan 3.661 kasus kejadian luar biasa (KLB) diare di 10 kabupaten dengan angka kematian 1,26% pada tahun 2008. 

Sedangkan  WSP EAP mencatat ada 121.199 kasus penyakit dan 50.132 di antaranya meninggal pada 2007 akibat sanitasi yang buruk. Kerugian ekonomi akibat buruknya sanitasi diperkirakan sebesar 2,3% dari produk domestik bruto  (PDB). Sedangkan kerugian di sektor kesehatan mencapai Rp 33 triliun setiap tahunnya. 

“Sementara anggaran kesehatan saja baru sampai di Rp 31 triliun. Jadi ini ancaman besar bagi potensi sumber daya manusia kita,” katanya. 

Sanitasi yang baik berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Investasi US$ 1 untukn sarana yang lebih baik akan menghasilkan nilai ekonomi hingga US$ 8-17 di negara berkembang seperti Indonesi. Investasi di bidang sanitasi US$ per kapita per tahun akan meningkatkan produktivitas masyarakat sebesar 34-79% dan menurunkan biaya kesehatan sebesar 6-19%. 

Sementara itu,Budi Suhardi dari Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG, perubahan iklim di Indonesia dilihat dari dua unsur yakni curah hujan dan temperatur. Semakin tinggi curah hujan dan temperatur berdampak pula pada tingginya kasus berbagai penyakit, terutama Ispa, DBD, malaria dan tuberkulosis.

Kemkes dan BMKG bekerjasama untuk melakukan pemetaan wilayah-wilayah rentan kesehatan sebagai dampak perubahan iklim, yakni Lampung,NTB,NTT,Kalimantan Selatan,Sulawesi Selatan,Jawa Timur dan Bali. 

“Daerah ini dipilih karena pertimbangan kasus penyakit,terutama DBD cukup tinggi dan sumber daya manusianya lebih siap,” kata Budi menambahkan. akibat tak menjaga kelestarian bumi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar